gunung gede pangrango, edelweis, alun-alun surya kencana


Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) merupakan salah satu dari taman nasional tertua di Indonesia dan termasuk kedalam 21 Taman Nasional Model yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan. Saat ini TNGGP merupakan perwakilan hutan hujan pegunungan di pulau Jawa yang paling utuh.

TNGGP lataknya mencakupi tiga wilayah kabupaten yaitu Bogor, Sukabumi dan Cianjur. Semenjak kecil jika melewati ruas jalur Puncak baik mau ke Bogor atau Jakarta dan sebaliknya, ketinggian Gunung Gede Pangrango selalu terlihat sepanjang jalan yang dilewati.
Gunung dengan ketinggian 2.958 mdpl itu setiap kali terlihat dari dalam kendaraan yang ditumpangi seakan sedang melambai-lambai mengajakku mencapai puncaknya. Kabut yang hampir setiap hari menutupi permukaan bagian kawah serta sekelilingnya semakin membangkitkan rasa penasaranku untuk segera mengetahui bagaimana kondisi serta keadaan sesungguhnya di puncak gunung tersebut.

Di pertigaan jalan raya dekat Istana Presiden kami turun, lalu menuju terminal angkutan yang letaknya agak ke dalam dari jalan raya Istana Cipanas untuk mencari mobil jurusan ke Gunung Putri.  dengan ongkos lima ribu rupiah per orang akhirnya kami selamat sampai di jalan kecil yang menanjak menuju pos pemeriksaan para pendaki TNGGP dari pintu Gunung Putri.
Turun dari mobil angkutan Mas Ary memberitahukan kalau ia dan teman-temannya berada di basecamp para pendaki milik Abah Idris. Meski jalannya sempit berkelok-kelok dan menanjak tapi tak sulit mencarinya karena penduduk yang ditanyai dengan mudah pula menunjukkan letaknya. Akhirnya kami sampai di sebuah rumah dengan mushola Al Mubharrokah di depannya. Untuk pertama kali itu saya bertemu Mas Ary, Odi, serta James. Mereka kenalan dari milis IBP yang sudah berpengalaman mendaki di TNGGP dan bersedia membawa kami untuk bersama-sama mendaki. Saat itu juga Odi memperkenalkan kami kepada Abah Idris, sesepuh yang juga bisa dibilang kuncen daerah itu.

“Untuk melakukan pendakian, usahakan tidak membawa barang yang tidak penting. Kalau harus bawa pun sesedikit mungkin. Perbanyak bekal makanan saja,” saran Mas Ary yang kalem itu sambil agak mesem-mesem saat melihat sleeping bag ‘jumbo’ yang kami bawa.
Benar juga, ya. Persiapan saya dan Kang Iwan ini salah, membawa baju banyak dengan alasan buat ganti kalau hujan, padahal sebagaimana dikatakan Mas Ary, “Antisipasi hujan cukup siapkan jas hujan yang baik saja, gak perlu bawa baju banyak.”

Jalanan selanjutnya yang dilalui tanah dengan tanjakkan bertangga dengan sebatang bambu yang dipasang di setiap ujung tangga tanah itu sebagai penahannya. Meski udara mulai sejuk karena matahari sudah tidak menampakkan sinarnya, namun saya mulai merasa panas. Saya sering merasakan kelelahan, sakit paha serta dada saat pernafasan sudah tidak teratur.

Setelah cukup istirahat (bahkan menurut salah seorang teman satu tim mengatakan kalau kita istirahat kelamaan) perjalanan dilanjutkan. Lampu senter dengan berbagai model dan ukuran mengeluarkan cahaya dengan indahnya. Cahaya saling berkelebat diantara besar dan rapatnya diameter pepohonan . Kami berjalan merapat dan mempersilahkan pendaki lain berjalan terlebih dahulu saat jalan yang dilalui semakin terjal.

“Kita satu tim, kita keluarga. Saat mendaki, keselamatan dan keamanan setiap pendaki adalah tanggung jawab pendaki lainnya juga. Saat mendaki kita diajarkan untuk tidak egois, terhadap teman satu tim, terhadap sesama pendaki juga terhadap alam.” Ujar Tebo memasang wajah serius sambil membetulkan letak kaca matanya. Sinar bulan yang saat itu menerobos lewat daun pepohonan samar-samar menerangi kami yang pada saat beristirahat mematikan senter.

Iseng sambil terus merayap dalam gelap, setiap ada pendaki yang menyusul kami atau berpapasan hendak turun kami selalu bertanya, “Mas, ini ke Surken masih jauh ya?”
Jawaban mereka (entah sudah menjadi tradisi atau hanya kebetulan) selalu sama, “Dekat kok! Sebentar lagi! Surya Kencana paling 25 menit lagi sampai…”

“Gile, setiap kali nanya jawabannya deket-deket dan sebentar-sebentar lagi terus, tapi ini dari tadi jalan kita kok gak sampai-sampai yah?” Ujar Revo sambil bersungut-sungut. Lalu ia terduduk mengajak istirahat.
Kami yang mendengar kontan tertawa-tawa. Memang iya sih, setiap kita nanya jawaban mereka selalu senada.
“Mungkin mereka itu cuma nyenengin ati lo aja, Vo…” timpal Mas Ary sambil tertawa juga.
“Gue capek, ah! Udah kita bikin tenda di sini aja!” Idih, Revo ngambek rupanya.
“Nih, gue kasih sosis biar semanget lagi,” canda seorang teman lainnya menggoda Revo. Yang saya lihat dan perhatikan sih, sejak dari bawah tadi, Revo memang ngemil terus.
“Nah, gitu dong! Yok kita jalan lagi..” Revo menyambar sosis lalu dengan semangat dadakan tubuhnya yang gemuk berdiri mengajak jalan lagi. Hahaha, ada-ada saja ulahnya. Membuat semua tertawa disaat gelap dan kelelahan.
Pukul Sepuluh lewat, saat perbekalan air habis, kami yang terengah-engah terus merayap dalam gelap tiba-tiba mendengar suara teriakan dari atas. “Ayo semangat, kalian sudah sampai di Alun-alun Surya Kencana…!”

Rupanya itu suara salah seorang panitia pendaki kelompok LARVA yang selalu menyemangati para anggotanya. Tapi kali itu benar, lho! Setelah habis tanjakan yang penuh akar dan tanahnya agak berpasir, kami mulai berjalan dengan posisi tanah melandai.
Bukan pepohonan yang menjulang tinggi lagi yang kami lewati melainkan perdu serta tanaman yang pada malam hari lebih menyerupai seperti semak-semak. Suara-suara para pendaki mulai terdengar semakin ramai. Benar, akhirnya kami sampai di dataran luas Surya Kencana di sisi baratnya. Saya dengar dari pintu Gunung Putri rata-rata waktu perjalanan normal sampai ke Surya Kencana berkisar selama lima jam. Jika dari pintu Cibodas, jarak 11,8 km itu bisa ditempuh selama 6 jam perjalanan.
Sinar bulan menerangi hamparan dataran yang sangat luas berada di ketinggian 2.750 mdpl malam itu. Banyak para pendaki yang sudah mendirikan tenda di lokasi yang kami lewati. Suhu udara terasa jauh lebih dingin. Saya pun inginnya segera tidur dan melepas lelah. Tapi Tebo bilang tim kami tidak akan membuat tenda di daerah itu, “Kita akan mendirikan tenda di tengah sana, supaya besok tinggal manjat ke puncak Gedenya. Odong sudah di sana nunggu kita.”
Setelah menunggu semuanya sampai di lokasi pintu barat Alun-alun Surya Kencana, kami sebelas orang kembali beriringan berjalan di atas jalan setapak di tengah hamparan padang nan luas. Sebelah kiri dan kanan kami tampak menjulang hitam dinding kokoh.
“Di sebelah itu puncak Gede berada,” tunjuk Tebo ke dinding sebelah kanan. Kami terus menyimak informasi dari Tebo sambil terus berjalan membelah dataran seluas 50 hektar yang ditutupi hamparan bunga edelweiss.

Sambil berjalan, saya terus menggerak-gerakkan tangan yang rasanya mulai membeku meski sudah mengenakan sarung tangan. Bulan semakin lama semakin memperjelas pandangan, menyibakkan kabut yang menutupi. Sampai akhirnya pohon edelweiss terlihat di sepanjang jalan setapak yang kami lewati. Suara gemericik air sayup-sayup juga terdengar terbawa angin.

“Jika ada angin kencang, tenda kita dipastikan akan tetap aman,” jelas Odi saat diantara kami ada yang bertanya kenapa mendirikan tenda di sekitar pepohonan itu. bukan di dekat air di bawah sana.

Tanpa banyak bicara, kami pun mendirikan tenda. Udara dingin yang kata Odi malam itu mencapai suhu 4 derajat Celcius membuat kami enggan bicara banyak. Pengennya cepat selesai mendirikan tenda dan segera tidur!

1335805477882091096
Sumber air di Alun-alun Surya Kencana (dok. Okti Li)
“Nasi uduk! Nasi Uduknya…”
Kami mendengar suara laki-laki menjajakan nasi uduk dari arah tenda seberang.
1335805565686627185
Porsi nasi uduk yang dijual di Surken (dok. Okti Li)
“Cape sih, Neng. Tapi ya gimana lagi, namanya juga usaha,” katanya seraya terduduk melepas ransel saat saya tanya bolak-balik dari kampung ke Alun-alun Surken setiap hari apa gak kecapean?
Saat membuka tas ranselnya yang berisi nasi uduk, saya todong Si Emang dengan pertanyaan tentang sasakala yang ia ketahui tentang Gunung Gede. Luar biasa, Si Emang ternyata hafal di luar kepala! Katanya sesuai dengan cerita dari karuhun (nenek moyang) di Gunung Gede itu ada dua sesepuh yang sangat dikeramatkan oleh warga yaitu Eyang Suryakencana dan Prabu Siliwangi. Rakyat mempercayai kalau kedua roh sesepuh tersebut selalu menjaga alam serta warga sekitar dari segala mara bahaya.
“Menurut karuhun mah Neng, setelah meletus tahun 1957, Gunung ini teh tidak akan meletus lagi karena dijaga oleh dua karuhun itu,” ucap Si Emang meyakinkan.
Bahkan entah hanya selorohan Si Emang atau memang benar demikian adanya, dikatakannya pula Gunung Gede ini adalah tempat tinggalnya Eyang Sinto Gendeng guru Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng.  Di gua-gua yang terdapat di seberang selokan itu banyak dikunjungi orang untuk mencari berkah dan selamat.
Saat kami masuk ke semak-semak pohon Edelweiss, ya ampun! ternyata di bawah pohon itu berserakan sampah-sampah plastik! Ck! Ck! Ck!, kok bisa ya para pendaki meninggalkan sampah yang mereka bawa di tempat ini? Bukankah di pos pendaftaran/keberangkatan dan kepulangan sampah-sampah hasil perbekalan itu telah dicatat, lalu harus dikumpulkan dan dibawa turun?
1335805743624206549
Sampah plastik yang berserakan di bawah semak Edelweiss (dok. Okti Li)
Selanjutnya, kami menyebrang selokan sumber air menuju ‘perkampungan’ para pendaki. Jika saat kami turun tadi suasana masih sunyi, kali ini keramaian sudah semakin terdengar. Bunyi nesting yang beradu, suara tawa para pendaki, harumnya bumbu dari mie instant serta wangi kopi/coklat semakin menyemarakkan pagi di tempat perkemahan para pendaki itu.

Kami mencari gua yang diceritakan oleh tukang nasi uduk. Sampai di lokasi gua yang dimaksud namun ga bisa masuk karena sudah ‘tertutup’ oleh dua buah tenda yang tepat berdiri di mulut gua. Mungkin mereka sengaja membuat tenda di mulut gua tersebut, jika angin kencang, di dalam gua pasti akan terasa lebih hangat.
Sempat merasa tidak percaya saat di ‘perkampungan’ tenda ada beberapa anak kecil yang sedang bermain. Saat saya tanya, mereka berumur lima tahun, tujuh tahun dan sembilan tahun itu memang ikut mendaki bersama ayah, ibu dan keluarganya. Luar biasa, mereka sedari kecil sudah ikut mendaki gunung.

“Ayo, ah kita naik. Semakin pagi naik ke puncak semakin bagus,” kata Odi.   “Soalnya kalau sore, pemandangan tak jelas karena tertutup kabut.”
Ya, pagi-pagi saja kabut sangat tebal, apalagi sore? Pantas saja kalau dilihat dari jauh, dari kendaraan saat mau ke Jakarta atau Bandung misalnya, Gunung Gede selalu tertutup kabut, jarang sekali tampak keseluruhan hingga ke puncaknya walau pun matahari tengah bersinar cerah. Sebelum naik menuju puncak, kami kembali berfoto bersama.
Menuju puncak, jalan yang kami lalui ibarat kali yang kering. Batu-batu yang menjadi pijakan kami, bukan tanah. Sepanjang pendakian pohon cantigi yang kerap dan berjejer rapat satu-satunya yang menjadi pelindung kami saat angin bertiup kencang. Saking kerasnya tiupan angin sampai suara bising bagai ribuan tawon yang menggulung di atas kepala kami. Tak terbayangkan bagaimana jadinya jika tidak ada pepohonan pelindung itu.
13358059572085300690
Jalan terjal berbatu ibarat sungai kering menuju Puncak Gede (dok. Okti Li)
Iseng teringat semalam, saya bertanya kepada para pendaki yang turun dan berlawanan arah apakah ke puncak masih jauh? Jawab mereka kali ini pun hampir sama. “Sudah dekat, Mbak! Lima menit lagi juga sampai…” Saya dan kang Iwan tersenyum. Lima menit penyemangat, hehehe! Benar saja kami memakan waktu satu jam lebih untuk sampai di puncak dari estimate waktu lima menit yang mereka katakan. Tak sampai dua jam, akhirnya kami sampai di puncak Gunung Gede.
Subhanalloh…
Tak tahu harus bagaimana saya melukiskan semua perasaan saat saya pada akhirnya berhasil menginjakkan kaki di Puncak Stratovolcano Gunung Gede yang ditetapkan oleh UNESCO sebagai Cagar Biosfir sejak tahun 1977 dengan segala pemandangannya yang sangat sangat sangat indah. Luar biasa. Allah Maha Besar…
Kang Iwan sampai melakukan sujud syukur sekian lama, mungkin hatinya mengucapkan syukur yang tiada terhingga, alhamdulillah akhirnya cita-cita untuk menginjakkan kaki di atas ketinggian 2.958 mdpl tercapai.
13358060231473283481
Terimakasih Yang Maha Penguasa untuk segalanya… (dok. Okti Li)
Panorama berupa pemandangan terdiri dari Gunung pangrango, Gunung Salak, hamparan kota Cianjur - Sukabumi - Bogor terlihat dengan jelas. Sungguh sebuah atraksi geologi yang menarik dan pertunjukan tumbuhan khas sekitar kawah yang sangat cantik.
Akhirnya kami berhasil mendaki melalui zona submontana, montana, hingga ke zona subalpin di sekitar puncak. Bangga sebagai warga sekitar TNGGP yang mana hutan pegunungan di kawasannya merupakan salah satu yang paling kaya jenis floranya di Indonesia.
Saya dan teman-teman berkeliling dari ujung sebelah kiri terus sampai di ujung sebelah kanan demi bisa melihat keseluruhan kawah yang masih aktif dalam satu kompleks. Sayang, saat saya bertanya yang mana kawah Lanang, yang mana kawah Ratu dan yang mana kawah Wadon tak ada seorang pun yang bisa menjelaskan. Yang saya lihat dan saksikan di bawah sana hanya ada sekepul asap yang bersumber dari pinggir cairan yang berwarna biru. Hanya bau belerang memang terasa sangat kuat.
13358060822045847035
Kawah Puncak Gede dan Puncak Pangrango (dok. Okti Li)
Saat berkeliling mengitari batu karang sepanjang lereng kawah itu banyak para pendaki yang mendirikan tenda di puncak itu. Diantara semak-semak cantigi mereka beristirahat sambil memandang hamparan luas sejauh mata memandang.
Berbagai macam pose orang berfoto di puncak itu kami temui. Berbagai macam cara para pemegang kamera beraksi demi bisa mengambil gambar yang dikehendakinya juga kami temui. Bahkan kami bertemu para pendaki dengan carrier yang super panjang mereka sepertinya khusus melakukan pemotretan dengan latar puncak Pangrango. Komplit, selain kamera yang dipegang fotographernya, ada tiga orang pendaki lain yang bertugas memegang blitz dari berbagai arah. Luar biasa…
1336061608354471395
Kang Iwan, Batu Puncak Gede berlatar Pangrango (Dokumentasi Okti Li)
13360616991419332396
Pagar Pembatas banyak yang rusak dan roboh (Dokumentasi Okti Li)
13360617621078880241
Nungging demi bisa mendapatkan angel yang bagus (Dokumentasi Okti Li)
1336061830117710849
Sesi Spesial Pemotretan di Puncak (Dokumentasi Okti Li)
Sepanjang jalan-jalan di tebing kawah itu saya harus sangat berhati-hati karena selain tanahnya terdiri dari pasir dan kerikil yang licin, pagar atau tali besi pengaman juga sudah pada rusak, rubuh, sehingga tidak ada batas untuk para pendaki melewati bibir kawah yang sangat curam dan berbahaya itu.
Setelah cukup puas menghirup udara puncak dan menatap kawah, kami kembali berfoto bersama sebelum akhirnya berjalan menuruni puncak menuju pintu Cibodas.
Odi alias Odong dan Tebo menyarankan kami untuk segera bergerak menuruni puncak menuju ke sisi kiri. “Lokasi di Kandang Badak kecil, kita bisa kehabisan tempat untuk mendirikan tenda di sana,” jelas Tebo saat saya tanya kenapa harus segera turun.
Tak hanya tim kami saja, banyak pendaki lain yang terlihat terburu-buru turun juga. Bahkan tim keluarga yang membawa anak kecil mendaki itu pun mereka hampir bersamaan turun bersama kami menuju Kandang Badak. Sambil jalan, penasaran sangat kuat saya alami. Ingin segera tahu, Kandang Badak itu lokasinya seperti apa sih?
1336199575709884620
Menapaki kerikil dan karang, menuruni puncak (Dok. Okti Li)
Perjalanan turun kali ini menurut saya tidak melelahkan seperti saat kami naik kemarin. Walau ada lelah rasanya saya tidak ingin berhenti untuk beristirahat. Jalan yang menurun, diantara pohon cantigi dengan teksture alam yang sangat indah semakin membuat saya penasaran untuk segera mengabadikan semuanya lewat kamera alam pemberian Sang Pencipta sebelum gelap keburu menyergap.
Mata saya tak sedikitpun ingin berpaling dari pemandangan alam yang sangat susah saya temui kalau tidak sedang naik atau turun gunung. Pucuk cantigi yang merah, batang-batangnya berjejer rapat menjadi penguat serta pegangan saat pendaki turun. Banyak dahan yang saking seringnya dipakai sebagai pegangan oleh para pendaki, sudah licin, lembut dan leucir (seperti diampelas saking seringnya dipegang). Beberapa buah cantigi yang matang saat saya cicipi terasa manis. Serta tonjolan batu dan karang yang terbentuk karena kejadian alam sedikitpun tak ingin saya berpaling memperhatikannya.

1336199680282229783
Pucuk cantigi yang sangat indah (Dok. Okti Li)
 “Kita mau lewat Tanjakan Setan atau enggak?” tanya Odi. “Kalau enggak, bisa ambil jalur kiri, cuma bakal agak panjang karena sedikit memutar.”
Hah? Tanjakan Setan? Bukannya takut mendengar nama tempat itu, yang ada saya justru penasaran dan segera ingin melihat seperti apa tempat yang dinamakan Tanjakan Setan itu.
1336199798540503294
Mas Ary menuruni Tanjakan Setan (Dok. Okti Li)
13361998551695492528
Mas Ary di tengah Tanjakan Setan (Dok Okti Li)
 “Lewat Tanjakan Setan saja. Masa mendaki Gede gak lewat Tanjakan Setan nanti malah makin penasaran, lagi…” ucap saya mantap.

“Okelah, ayo lewat Tanjakan Setan aja. Gue juga pengen tahu, kok!” balas Revo.
Sepakat, kami menuju arah Tanjakan Setan. Batu-batu serta karang yang kami lewati habis di bibir jurang yang didominasi pohon-pohon yang menjadi pagangan.
Oh, ternyata ini yang dinamakan Tanjakan Setan? Batin saya saat sampai di sebuah tanjakan yang sangat curam dengan beberapa tambang sebagai alat pegangan para pendaki. Untuk menuruni tanjakan ini, pendaki turun satu persatu dan ransel yang berat serta besar sebaiknya dioper kepada teman-teman supaya tidak mengganggu.

Kami tiba di lokasi Kandang Badak saat pukul tujuh malam. Suara air yang menggelegar menandakan perkemahan sudah dekat. Benar saja, tenda-tenda mulai terlihat diantara rapatnya akar-akar pohon yang menjulang tinggi.

Saya dengar pembicaraan teman-teman kalau lokasi untuk mendirikan tenda hanya cukup untuk dua buah tenda saja. Tentu saja hal itu tidak mengenakkan kami. Sempat juga terdengar ide untuk melanjutkan perjalanan dan mendirikan tenda di Kandang Batu. Tapi setelah Tebo berbicara dengan beberapa orang pendaki yang sudah terlebih dahulu mendirikan tenda di sekitar situ kami bisa mendirikan tiga tenda walau sangat berdempet-dempetan. Untuk sholat saja kami harus mencari tempat agak jauh dari lokasi tenda.

Saat membersihkan diri, di sisi sumber air yang sangat besar itu berdiri sebuah bangunan yang gelap dan cukup menakutkan seperti bangunan tua atau rumah hantu gitu. Hanya bercahayakan senter yang sudah mulai habis batreinya saya tak bisa melihat jelas bangunan apa itu.
133619994849954040
Sumber air di Kandang Badak setelah dipasang pancuran dan tatapakan (Dok. Okti Li)

Saya mengajak ngobrol Si Emang pedagang nasi uduk yang berasal dari perkampungan sekitar Cibodas itu. Bertanya asal usul mengapa daerah itu dinamakan Kandang Badak, benarkah dulunya bangunan ini kandang tempat badak?
“Dulu, memang ada badak dan bangunan ini dibangun oleh para ranger,” jelas Si Emang. Belum selesai Si Emang bercerita, tiba-tiba ada pendaki yang memanggil-manggil Si Emang. Bukan mau membeli nasi uduknya, melainkan mau meminta tolong untuk menggotong tandu!
13362000291748399982
Dua orang penjual nasi uduk harus turun sebelum dagangannya habis, demi bisa menyelamatkan pendaki yang sakit (Dok. Okti Li)

Selama perjalanan menurun itu kami ibarat berjalan melewati sungai berbatu karena jalan yang dipijak penuh dengan air. Tak jarang kami harus menaiki pohon yang tumbang menghalangi jalan, membungkuk atau merangkak karena pohon itu tidak bisa dilewati.
1336200503983473826
Banyak pohon tumbang (Dok. Okti Li)
Dalam perjalanan, kami melewati Curug Leutik (Air Terjun kecil, begitu keterangan yang saya dapat dari Odi) kami sempat berfoto dan main air di lokasi itu. Mendekati lokasi Kandang Batu, hujan reda menyisakan becek dan kabut.
13362005491694246518
Di Curug Leutik dijepret Odi (Dok. Okti Li)
Tak berapa lama kami mendekati lokasi Air Panas. Banyak para pendaki yang mandi di air hangat itu. Saat berjalan melewati lokasi Air Panas hujan kembali datang dengan lebatnya. Kami harus ekstra hati-hati berpegangan pada seutas tambang di sisi kiri jalan. Sementara di sisi kanan adalah air terjun air panas yang airnya benar-benar panas. Sampai kabut hawa panas itu menutupi pandangan kami.
1336200603920464774
Lokasi Air Panas Hujan turun lagi (Dok Okti Li)
Kekayaan alam Indonesia yang sangat luar biasa, air panas dan air dingin berdampingan mengalir. Bodoh banget kalau kita sebagai warga negara Indonesia menyia-nyiakan harta kekayaan alam yang tak ternilai harganya itu. Banyak turis yang masih muda dan mereka perempuan melakukan perjalanan dari Cibodas ke Air Panas itu dengan berjalan kaki cukup cepat. Mereka sangat antusias dan senang, seperti tak merasakan kelelahan. Tidakkah kita sebagai generasi muda bangsa lebih bersenang diri?
133620066249782481
Kalah cepat oleh turis muda (Dok. Okti Li)
Puas berada di lokasi Air Panas dan hujan semakin deras, kami melanjutkan perjalanan lagi. Orang-orang semakin banyak kami temui, bukan hanya para pendaki gunung, melainkan juga mereka yang datang ke lokasi Air Panas Cibodas, Panyangcangan, dan sekitarnya. Kembali dalam hujan kami harus berhati-hati karena banyak pohon yang tumbang, menghalangi jalan bahkan ada yang tidak bisa kami lewati dan kami harus memutar. Pohon-pohon anggrek hutan banyak berserakan di sepanjang jalan.
Hingga akhirnya kami sampai di lokasi pertigaan Air Terjun Cibeureum. Banyak sekali orang di situ, bercampur antara para pendaki, pengunjung Air Panas, Panyangcangan, pengunjung Air Terjun Cibeureum dan lokasi wisata sekitar lainnya.
13362007211475323991
Sebelum basah-basahan (Dok. Okti Li)
Tim kami beristirahat di pos itu. Saya dan Kang Iwan menyempatkan diri ke lokasi Air Terjun Cibeureum yang berjarak hanya 300 meter dari pos tempat kami istirahat. Air terjun dengan ketinggian 50 meter itu seperti mengepul terlihat dari kejauhan.
Awalnya Kang Iwan tidak akan berbasah-basahan di Air Terjun Cibeureum itu, tapi saat berfoto, tak kami sangka air itu tertiup angin dan membasahi kami. Kepalang basah, Kang Iwan mencebur langsung sekalian di bawah air terjun yang banyak dikunjungi oleh pasangan dua insan itu dan pulang menuju pos dengan keadaan basah kuyup.
Dalam perjalanan turun menuju Pintu Cibodas, kami melewati beberapa lokasi wisata lainnya yang tak kalah menarik yaitu Telaga Biru, danau dengan luas sekitar lima hektar ini selalu terlihat berwarna biru dikarenakan ganggang biru yang menutupinya.
13362007691413556231
Luasnya sekitar 5 ha (Dok Okti Li)
Lokasi Penangkaran Burung; yang mana TNGGP terkenal akan berbagai jenis burung. Sekitar 251 jenis dari 450 jenis yang terdapat di Pulau Jawa ada di TNGGP ini. Beberapa jenis di antaranya merupakan burung langka yaitu Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) dan Celepuk Jawa (Otus angelinae).
1336200820427120274
Iseng sambil jalan 1 (Dok. Okti Li)
13362008561282536854
Iseng sambil jalan 2 (Dok. Okti Li)
133620088891289629
Iseng sambil jalan 3 (Dok. Okti Li)
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango [National Park]
Jl. Raya Cibodas, Cipanas, Cianjur, Jawa Barat, Indonesia 43253
Tel/Fax: +62-263-512776 [office] | Tel/Fax: +62-263-519415 [booking]


gunung salak


gunung salak

Wisata ke Gunung Salak

Kawasan Gunung Salak sendiri merupakan sebuah gunung berapi yang terdapat di pulau Jawa, Indonesia. Gunung ini mempunyai beberapa puncak, di antaranya Puncak Salak I dan Salak II. Tinggi puncak Salak I 2.211 m dan Salak II 2.180 m diatas permukaan laut. Ada satu puncak lagi bernama Puncak Sumbul dengan ketinggian 1.926 m diatas permukaan laut.

Gunung Salak memiliki banyak lokasi yang menarik pelancong. Salah satu lokasi wisata yang terdapat di kawasan Gunung Salak adalah Bumi Perkemahan Gunung Bunder. Bayangkan jejeran pohon pinus yang terbentang sejauh mata memandang, aroma rumput dan dedaunan yang basah oleh embun serta semilir udara sejuk yang bertiup lembut. Situasi seperti ini pasti sulit Anda temukan di daerah perkotaan yang superpadat, bukan?

Mungkin Anda tidak menyangka akan menemukan suasana seperti itu di Kota Bogor. Ya, di pinggir Kota Bogor, tepatnya di Gunung Bunder, Kecamatan Pamijahan di kaki Gunung Salak, terdapat lokasi perkemahan seluas 30 hektare yang dikelilingi oleh hutan pinus yang asri.

Selain sebagai tempat perkemahan, Gunung Bunder juga kerap menjadi sarana outbound yang fasilitasnya telah disediakan oleh pengelola. Camp Gunung Bunder juga terkenal dengan banyaknya wisata air terjun yang dapat dikunjungi dengan berjalan kaki, seperti Curug Cihurang, Curug Ngumpet, Curug Cigamea, dan yang paling terkenal adalah Curug Seribu.

Selain wisata air terjun, karena lokasinya yang berada di kaki Gunung Salak, Anda juga dapat mengunjungi Kawah Ratu. Dengan berjalan sejauh 14 kilometer, Anda akan sampai di lokasi tersebut.

Pemandangan kawah dengan air panas belerang di tengahnya membawa suasana mistis tersendiri bagi pengunjung. Sebaiknya, kunjungi Kawah Ratu di pagi hari karena semakin siang, bau belerang yang menguar dari kawah akan semakin tajam dan pekat.


Lokasi perkemahan Gunung Bunder, Jawa Barat (Foto: Mutya/okezone)
lokasi perkemahan gunung bunder

Kembali ke kawasan perkemahan, Anda tidak perlu khawatir akan merasa kurang nyaman berada di tengah hutan. Pasalnya, di sekitar lokasi perkemahan sudah tersedia banyak fasilitas MCK yang memadai serta kedai-kedai kecil yang menjual makanan dan kayu bakar untuk keperluan berkemah.

Selain itu Gunung Salak lebih populer sebagai ajang tempat pendidikan bagi klub-klub pecinta alam, terutama sekali daerah punggungan Salak II. Ini dikarenakan medan hutannya yang rapat dan juga jarang pendaki yang mengunjungi gunung ini. Juga memiliki jalur yang cukup sulit bagi para pendaki pemula dikarenakan jalur yang dilewati jarang kita temukan cadangan air kecuali di Pos I jalur pendakian Kawah Ratu, beruntung di puncak Gunung ( 2211 m diatas permukaan laut ) ditemukan kubangan mata air. Gunung Salak meskipun tergolong sebagai gunung yang rendah, akan tetapi memiliki keunikan tersendiri baik karakteristik hutannya maupun medannya.

Secara habitat, kawasan gunung Salak ditutupi oleh hutan yang cukup lebat. Hutan-hutan di Gunung Salak terdiri dari hutan pegunungan bawah (submontane forest) dan hutan pegunungan atas (montane forest).

Selain itu, aneka margasatwa dapat ditemukan di lereng Gunung Salak, mulai dari kodok dan katak, reptil, burung hingga mamalia. Tak hanya itu, kawasan Gunung Salak juga telah dikenal lama sebelumnya sebagai daerah yang kaya burung, setidaknya tidak kurang dari 232 jenis burung menghuni kawasan ini.


Wilayah Gunung Salak
Secara administratif gunung salak termasuk kedalam Kawasan TAman Nasional  Gunung Halimun Salak, kawasan konservasi dengan luas 113.357.  Keanekaragaman hayati yang dikandungnya termasuk yang paling tinggi, dengan keberadaan beberapa jenis fauna penting yang dilindungi di sini seperti elang jawa, macan tutul jawa, owa jawa, surili dan lain-lain.
Gunung Salak sangat dikenal sebagai destinasi wisata pendakian oleh para wisatawan pencinta alam, dikarenakan karakteristiknya yang unik dan alam tropis  yang masih terjaga dengan baik. Gunung Salak lebih populer sebagai ajang tempat pendidikan bagi klub-klub pecinta alam, terutama sekali daerah punggungan Salak II. Ini dikarenakan medan hutannya yang rapat dan juga jarang pendaki yang mengunjungi gunung ini. Juga memiliki jalur yang cukup sulit bagi para pendaki pemula dikarenakan jalur yang dilewati jarang kita temukan cadangan air kecuali di Pos I jalur pendakian Kawah Ratu, beruntung di puncak Gunung ( 2211 Mdpl ) ditemukan kubangan mata air.
Gunung Salak meskipun tergolong sebagai gunung yang rendah, akan tetapi memiliki keunikan tersendiri baik karakteristik hutannya maupun medannya.
Gunung Salak dapat didaki dari beberapa jalur, yakni
jalur Wana Wisata Cangkuang Kecamatan Cidahu Kabupaten Sukabumi,
Wana Wisata Curug Pilung, Cimelati, Pasir Rengit, dan Ciawi.
Gunung Salak dapat didaki dari beberapa jalur pendakian.
Puncak yang paling sering didaki adalah puncak II dan I.
Jalur yang paling ramai adalah melalui Curug Nangka, di sebelah utara gunung. Melalui jalur ini, orang akan sampai pada puncak Salak II.
Puncak Salak I biasanya didaki dari arah timur, yakni Cimelati dekat Cicurug. Salak I bisa juga dicapai dari Salak II, dan dengan banyak kesulitan, dari Sukamantri, Ciapus.
Jalur lain adalah ‘jalan belakang’ lewat Cidahu, Sukabumi, atau dari Kawah Ratu dekat Gunung Bunder.
Belum lagi jalur-jalur tidak resmi yang dibuka para pendaki ataupun masyarakat sekitar. BAnyak jalur yang tak resmi inilah yang membuat beberapa pendaki tersesat dan tidak diketahui rimbanya
Koordinat : 6 25′ 26″ S, 106 33′ 21″ E

Arah: 35 km dari Kota Bogor, dapat ditempuh dalam 1 jam dengan kendaraan melalui jalan melalui dua jalur, yaitu Desa Cibatok, Kecamatan Cibungbulang, dan Desa Cikampak, Kecamatan Ciampea.

Curug Nangka , Curug Daun dan Curug Kawung

Bogor, selain wisata belanja banyak sekali menyimpan tempat wisata yang indah. Dua hari yang lalu aku sempat browsing tempat wisata di Bogor dan aku menemukan banyak sekali curug atau air terjun di kota ini. Wah air terjun, pasti bersih nih udara dan airnya.
Kuputuskan untuk long weekend ini aku pergi ke Curug Nangka di Ciapus. Aku menggunakan angkot sebagai transportasinya. Dimulai dari Cibinong menuju Warung Jambu naik angkot 08 jurusan Citereup – Bogor dengan biaya Rp 3.000,- . Lanjut ke BTM menggunakan angkot 08 jurusan Ramayana – Warung Jambu dengan biaya Rp 3.000,-. Setelah itu lanjut naik angkot Jurusan Ramayana – Ciapus turun di pertigaan depan The Highland Park Hotel and Resort dengan biaya Rp 5.000,-. O iya, saat naik jangan lupa untuk menanyakan ke sopir angkotnya apakah lewat Curug Nangka atau tidak. Eit, jangan dipikir ini udah sampai ya. Setelah turun, perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki atau naik ojek. Kalau naik ojek biayanya RP 10.000,- , tukang ojeknya akan mengantarkan kita sampai ke parkiran. Tiket masuk ke curug ini sebesar Rp 7.500,-
Setelah melewati pintu gerbang, kita akan menemukan hamparan pohon pinus di kanan kiri jalan. Setelah itu tempat parkiran sepeda motor dan beberapa warung-warung makan.
Perjalanan masih panjang ya hehehe.. Pertama kali kita lewati jembatan kayu. Ikuti saja jalan setapak yang sudah ada. Tapi hati-hati , kalau ingin ke curug Nangka pilih belokan ke kanan dan ikuti jalan sungai yang ada. Kalau tidak, kita akan terbawa ke Curug Kawung yang berada di atasnya.
Untuk mencapai curug Nangka, kita harus melewati alur sungai yang ada. Awalnya aku ingin melewati alur sungai tersebut, namun sayang agak sedikit mendung jadi aku putuskan untuk melihat Curug Nangka dari atas saja. Lumayan lah dapat juga foto curugnya.

Perjalanan dilanjutkan ke Curug Daun. Ini awalnya sempat aku binggung, kenapa dinamakan curug Daun ya. Udah gitu ga tinggi-tinggi amat hehehe..
Yuk lanjut lagi ke Curug Kawung. Sepanjang jalan banyak aku temui riak air yang indah, sayang untuk dilewatkan untuk di foto. Jeprat jepret sana sini sambil belajar menggunakan settingan manual di Kamera Nikonku. Akibatnya aku terlalu lama di jalan. Namun semua aku nikmati, toh jalan-jalan ini kan memang tujuan utamanya belajar foto air terjun hehehe. Memilih menggunakan beberapa settingan aperture dan shutter speed yang terkadang menghasilkan foto yang gelap sekali, kadang fotonya terang sekali dan lain-lain. Asyik lah, sambil jalan-jalan bisa belajar foto segala. Walaupun hasilnya masih belum bagus juga, maklum masih amatiran.
Akhirnya aku sampai juga di curug Kawung. Hanya satu kata yang terucap, indah sekali ciptaan Tuhan ini. Indah banget air terjunnya. Yak, latihan memotret air terjun mulai dilakukan. Mulai dari ambil posisi dekat, jauh, samping kiri maupun samping kanan. Berbagai settingan dilakukan, dari menaikkan shutter speed, menurunkan shutter speed, menaikkan aperture hingga menurunkan aperture. Seru juga ternyata liburan sambil belajar memotret. Menikmati dinginnya air dan melihat beberapa orang yang sedang berbasah-basahan di bawah air terjun ternyata nikmat juga.
Perhatianku mulai beralih ke dua orang nenek yang berjualan makanan di curug itu. Jujur saja, untuk menuju ke curug itu jalannya jauh dan agak sedikit menanjak, entah bagaimanan caranya dua nenek tersebut bisa sampai ke curug itu. Tak tampak sedikitpun kelelahan di wajahnya. Dua nenek tersebut mengingatkanku pada nenekku yang baru saja meninggal. Bagaimana tidak, nenekku dulu juga seorang pekerja keras. Entah kenapa aku tidak bisa menolak kata hatiku untuk membeli dagangan nenek itu. Kuhampiri nenek itu dan bertanya berapa harga dari gorengan dan nasi kuning tersebut. Tak sepatah katapun yang bisa aku pahami dari ucapan nenek itu. Ingin rasanya kutanyakan umurnya dan kenapa beliau masih berjualan. Namun aku tidak bisa berkata-kata lagi, nenek itu hanya bisa berkata dalam bahasa Sunda. Aku sendiri tak paham dengan bahasa Sunda. Akhirnya hanya memperhatikan tingkah laku nenek tersebut. Ya aku membeli nasi kuning dan gorengan tersebut. Karena aku hanya ingin membantu nenek tersebut. Mungkin bagiku kecil, namun bagi nenek tersebut pasti berguna sekali.
Saat asyik-asyiknya melihat nenek tua renta itu, tiba-tiba seorang ibu mendatangiku dan meminta tolong untuk memotret dirinya bersama suaminya di bawah air terjun. Aku potretlah mereka dengan kamera ponselnya. Setelah mereka puas dengan hasil jepretanku, aku pamit untuk turun.
Di perjalanan turun ke bawah, aku bertemu dengan sebuah rombongan, salah satu diantara mereka menanyakan jarak ke curug Kawung. Aku bilang si tinggal dikit lagi. Sambil berkata airnya tidak terlalu banyak, jadi agak ga baguslah buat motret. O iya di sini pula aku menemukan tanda penghormatan. Entahlah kenapa tanda itu bisa ada di sini.
Ketika sampai dibawah, aku lihat pengunjung semakin banyak. Ada yang mendirikan tenda, ada yang sekedar ngobrol, ada yang sedang makan jagung dan masih banyak lagi aktifitas lainnya.
Aku putuskan jalan kaki menuju pertigaan tempat aku menunggu angkutan. Ya ternyata ga jauh-jauh amat tuh jalan kaki. Enak, bisa ambil foto diberbagai tempat sambil menikmati keindahan dan segarnya udara.
Perjalanan kali ini memberiku banyak pelajaran, selain pelajaran memotret, aku mendapatkan pelajaran bahwa sesuatu yang indah akan kita dapatkan dengan perjalanan yang menanjak dan berliku. Seindah-indahnya negeri orang, ternyata negeri Indonesia sangat indah sekali. Seorang nenek yang sudah tua renta pun masih sigap dalam meniti jalan ke puncak, rela menempuh perjalanan itu untuk sesuap nasi.
Tuhan, terimakasih atas semua perjalanan indah ini. Perjalanan yang akan selalu aku kenang setiap detik langkahku.

curug cilember, curug 1, 2, 3 sampai curug 7


Curug Cilember

Dari gerbang tol Ciawi, Anda terus menuju arah Puncak. Di daerah Cisarua, Anda dapat berbelok ke kiri untuk menuju Curug Cilember dan juga Taman Matahari. Setelah melewati Taman Matahari, Anda akan melewati vila dan rumah penduduk sepanjang jalan. Setelah itu Anda dapat tiba di gerbang Curug Cilember. Jalan untuk menuju tempat ini sudah beraspal, tetapi juga berliku dan sempit, sehingga bila ada 2 mobil, Anda harus berhati-hati.
Untuk dapat masuk ke tempat wisata ini, Anda diharuskan membeli tiket masuk dengan harga Rp 6.000,- . Bila membawa kendaraan, tiket tambahan yang harus dibeli adalah Rp 8.000,- untuk mobil atau Rp 4.000,- untuk motor.
Dengan ketinggian 800 meter di atas permukaan laut, suasana hijau dan sejuk langsung menyambut Anda di tempat wisata ini. Tidak perlu kuatir, karena pihak pengelola sudah menyediakan petunjuk jalan yang akan membantu Anda. Tempat favorit banyak pengunjung adalah mengunjungi air terjun atau curug walaupun ada fasilitas lain yang disediakan pengelola. Ada banyak pedagang saat akan menuju curug ke tujuh, mulai dari penjual jagung bakar, mie instant rebus, sate kelinci atau pedagang souvenir. Bagi Anda yang merasa lapar, Anda dapat singgah ke tempat ini.

Taman Konservasi Kupu-Kupu

Taman Konservasi Kupu-KupuSelanjutnya, Anda akan melihat Taman Konservasi Kupu-Kupu, sebuah bangunan berbentuk kubah jaring raksasa. Bila ingin masuk ke tempat ini, tiket dijual dengan harga Rp 5.000,-. Di sini merupakan tempat kupu-kupu dikembangbiakan. Ada petugas yang akan menjelaskan proses metamorfosis kupu-kupu, memperlihatkan telur, ulat maupun kepompong yang ada di taman konservasi ini. Petugas dengan ramah juga menerangkan jenis kupu-kupu dari ulat yang ada serta menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan pengunjung. Tempat yang cocok untuk menambah pengetahuan anak Anda yang masih kecil. Anda dapat melihat sendiri kupu-kupu yang berterbangan atau yang hinggap di bunga atau daun dari tanaman yang ada. Hanya saja pada musim tertentu, kupu-kupu di sini tidak terlalu banyak. Penangkaran ini dibuat menyerupai taman dengan bunga-bungan dan tanaman lainnya yang semakin mempercantik tempat ini.

Fasilitas di Curug Cilember

Pondok Kayu CilemberPerjalanan dapat dilanjutkan dengan melewatiJembatan Cinta, jembatan gantung yang akan bergoyang saat dilewati. Kemudian, Anda dapat mencoba Flying Fox di antara tanaman pinus yang ada disini. Ada juga pondok-pondok kayu yang disewakan untuk tempat bermalam. Harga sewa pondok ini berbeda-beda, tergantung jenisnya. Sewa termahal adalah pondok Meranti (3 kamar tidur, dapur, tungku pemanas, water heater) harganya Rp 700.000,- untuk weekday dan Rp 900.000,- untukweekend. Untuk pondok Merkusi dengan fasilitas sama seperti pondok Meranti tetapi hanya terdiri dari 2 kamar tidur, harganya Rp 600.000,- untuk weekdaydan Rp 800.000,- untuk weekend. Sedangkan untuk tipe lainnya ada Rasamala (2 kamar tidur, water heater) dan Damar (2 kamar tidur, dapur) harga sewanya Rp 600.000,- untuk weekday dan Rp 700.000,- untukweekend. Anda dapat memilih sendiri fasilitas pondok mana yang cocok untuk Anda.
Bila ingin mencoba suasana yang berbeda, cobalah untuk menikmati acara camping atau berkemah di ruangan terbuka. Pengelola menyediakan sewa tenda seharga Rp 75.000,-, sleeping bag seharga Rp 15.000,- atau perlengkapan lainnya untuk berkemah seperti lampu, genset, matras, atau api unggun. Ada beberapa tempat yang menjadi lokasi perkemahan (camping ground). Tempat MCK dan keamanannya terjamin, karena adanya petugas yang terus berjaga di tempat ini.

Curug 7 Cilember

Tidak jauh dari pondok penginapan, tibalah Anda di curug atau air terjun ke tujuh. Curug ini yang paling ramai karena terletak paling bawah sehingga mudah diakses. Letaknya hanya beberapa ratus meter dari pintu gerbang. Curug ke tujuh terbagi dua dan dan Anda dapat melihatnya dari jauh karena ketinggian curug ini. Banyak pengunjung yang menikmati kesegaran air terjun ini. Mereka mendekati curug ini untuk mandi di bawah curahan air terjun, berenang di kolam alami hasil penampungan air terjun, atau sekadar berfoto-foto dengan pemandangan air terjun. Di sini juga disediakan tempat MCK dan tempat ganti pakaian setelah Anda berbasah ria.
Di curug ini juga kerap kali dijadikan tempat foto prewedding untuk para calon pengantin. Rasa lelah akan terasa hilang saat merasakan percikan air di wajah atau saat mencoba merasakan dinginnya air terjun. Ditambah lagi dengan suasana asri dan indahnya pemandangan curug ketujuh ini.

Curug 5 Cilember

Curug 5 CilemberSetelah puas menikmati curug ketujuh, perjalanan dapat dilanjutkan menuju curug ke lima. Curug ini lebih besar dibandingkan dengan curug ke tujuh walaupun tidak setinggi curug ke tujuh. Anda dapat menghilangkan lelah Anda dengan bermain-main di curug ini.
Untuk mencapai curug ke lima, medannya lebih sulit, karena hanya berupa jalan setapak yang terdiri dari batu-batuan dan tanah. Jika hujan, maka jalan ini cukup licin sehingga harus lebih berhati-hati. Jalan setapak ini juga berliku-liku. Untuk mencapai curug ke lima, Anda membutuhkan waktu kira-kira 15 menit berjalan kaki.
Curug ke lima, lebih indah dan bersih, karena lebih sulit dijangkau dari curug ke tujuh. Namun di sini juga disediakan fasilitas MCK dan ruang ganti pakaian. Ada juga warung yang menyediakan makanan dan jagung bakar yang bisa dinikmati. Di area sekitar curug ke lima juga terdapat camping ground untuk menikmati keindahan hutan alami sambil menikmati kesejukkan alam di dekat air terjun.

Dari Curug Tujuh Hingga Curug Satu Cilember

Curug paling bawah yang terdekat dengan pintu masuk adalah curug ke tujuh. Lokasinya mudah diakses dengan mudah oleh para pengunjung Wana Wisata Curug Cilember. Setelah itu, biasanya beberapa orang yang masih belum puas akan melanjutkan mendaki melewati jalan setapak yang licin dan berbatu menuju curug ke lima. Sebagian besar pengunjung sudah merasa senang jika mencapai curug ke lima ini. Curug ke enam sendiri memang tidak bisa dikunjungi karena belum ada jalan setapak menuju curug ke enam. Sehingga biasanya pengunjung langsung menuju curug ke lima setelah mengunjungi curug ke tujuh.
Namun jika Anda berjiwa petualang, Anda bisa mencoba untuk mencapai curug ke empat dengan medan yang semakin sulit dan terjal. Dari curug ke empat, tidak jauh dari sana Anda juga dapat mencapai curug ke tiga. Baik curug ke empat dan curug ke tiga, masih jauh lebih alami karena jarang dikunjungi mengingat medan perjalanan kaki yang cukup sulit.
Jika Anda masih menyukai tantangan lagi, Anda dapat mengunjungi curug ke dua yang perjalanannya cukup jauh dari curug ke tiga. Di sini Anda harus berhati-hati karena banyak lintah yang ada di dedaunan. Lalu Anda dapat mencapai curug ke satu yang terletak paling atas yang merupakan curug tertinggi di Wana Wisata Curug Cilember. Curug ke satu sangat alami karena memang paling sulit dikunjungi. Namun, pengelola selalu menyarankan ditemani pemandu yang sudah tahu medan perjalanan ke curug satu, bila ingin mencapainya. Waktu tempuh dengan berjalan kaki ke curug satu memakan waktu sekitar 2 hingga 3 jam perjalanan kaki.
Bila Anda sudah tidak mampu melanjutkan perjalanan, menikmati keindahan curug ke tujuh dan curug ke lima sudah cukup untuk menghilangkan kepenatan. Untuk yang hobi berpetualang, Curug Cilember menyediakan fasilitas jugle tracking dan outbound. Dengan keindahan panoramanya, suasana asri dan kesejukkan air terjun, serta fasilitas lainnya menjadikan Wana Wisata Curug Cilember ini cocok menjadi tempat wisata untuk Anda dan keluarga. Pulang dari Curug Cilember, Anda akan menikmati kesegaran bagi tubuh dan pikiran Anda sambil menikmati jajanan di pintu keluar Wana Wisata Curug Cilemberseperti sate kelinci dan jagung bakar.

Curug Cilember

Wana Wisata Curug 7 Cilember
Jl. Cisarua Puncak Km 10
Desa Cilember
Kecamatan Cisarua
Puncak, Jawa Barat
Telp: (0251) 258 890

curug malela, niagara mini di indonesia


curug luhur




















curug kembar





curug cibereum





curug malela

curug malela, niagara mini di indonesia
Indonesia sebenarnya punya niagara mini, sayangnya belum banyak yang tahu. Maklum, tempatnya terpencil dan cukup sulit mencapai lokasi ini.

Nama air terjun 'miniatur' niagara itu dikenal dengan nama Curug Malela. Lokasinya bisa disambangi dari Bandung ke arah barat menuju Kota Kecamatan Gununghalu. Jaraknya sekitar 40 km. 

Jika tidak membawa kendaraan pribadi bisa naik kendaraan umum dari Stasiun Ciroyom. Hampir setiap jam ada yang berangkat, cuma hanya sampai sore hari. Tengah malam baru mulai ada lagi karena ingin mengangkut para calon penumpang yang biasa akan menjual hasil bumi dan palawija ke Bandung pada subuh harinya.

Dari Gununghalu kemudian kita mengarah ke Bunijaya. Ada kendaraan umum yang melayani jalur ini (beberapa minibus jurusan Bandung - Gununghalu - Bunijaya). Beberapa petunjuk sudah dipasang sehingga yang baru pertama kali akan terbantu. Namun jika ragu lebih baik bertanya.

Menuju curug yang terletak di Kampung Manglid, Desa Cicadas, Kecamatan Rongga, Kabupaten Bandung Barat, ini lebih baik menggunakan kendaraan pribadi. Sebab tidak ada kendaraan umum yang sampai curug.

Angkutan umum hanya sampai Rongga dan dari sini harus naik ojek dengan ongkos sekitar Rp 50.000,- melalui jalanan berbatu yang licin kala hujan. Nah, karena jalan berbatu tadi, jika menggunakan kendaraan pribadi disarankan kendaraan dengan ground clearance tinggi seperti SUV.



  
Curug atau air terjun ini memang tersembunyi lokasinya. Baru ditemukan sekitar 6 tahun silam, penduduk sekitar kawasan pun banyak yang belum menjamahnya. Akses jalan menuju ke sini belum tergarap dengan rapi. Padahal plang nama sudah dijajakan sejak keluar dari Tol Padalarang menuju jalur alternatif ke Ciwidey via Soreang. Objek wisata Curug Malela terpampang bersama nama daerah lainnya.

Berdasarkan peta topografi, Curug Malela memiliki ketinggian kurang lebih 50 m dan lebar mencapai 70 m. Airnya berasal dari Sungai Ci Curug. Nama ‘malela’ diambil dari Bahasa Kawi yang berarti ‘baja’.

Nah, ada yang punya rencana berwisata ke Curug Malela?
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes