Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) merupakan salah satu dari taman nasional tertua di Indonesia dan termasuk kedalam 21 Taman Nasional Model yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan. Saat ini TNGGP merupakan perwakilan hutan hujan pegunungan di pulau Jawa yang paling utuh.
TNGGP lataknya mencakupi tiga wilayah kabupaten yaitu Bogor, Sukabumi dan Cianjur. Semenjak kecil jika melewati ruas jalur Puncak baik mau ke Bogor atau Jakarta dan sebaliknya, ketinggian Gunung Gede Pangrango selalu terlihat sepanjang jalan yang dilewati.
Gunung dengan ketinggian 2.958 mdpl itu setiap kali terlihat dari dalam kendaraan yang ditumpangi seakan sedang melambai-lambai mengajakku mencapai puncaknya. Kabut yang hampir setiap hari menutupi permukaan bagian kawah serta sekelilingnya semakin membangkitkan rasa penasaranku untuk segera mengetahui bagaimana kondisi serta keadaan sesungguhnya di puncak gunung tersebut.
Di pertigaan jalan raya dekat Istana Presiden kami turun, lalu menuju terminal angkutan yang letaknya agak ke dalam dari jalan raya Istana Cipanas untuk mencari mobil jurusan ke Gunung Putri. dengan ongkos lima ribu rupiah per orang akhirnya kami selamat sampai di jalan kecil yang menanjak menuju pos pemeriksaan para pendaki TNGGP dari pintu Gunung Putri.
Turun dari mobil angkutan Mas Ary memberitahukan kalau ia dan teman-temannya berada di basecamp para pendaki milik Abah Idris. Meski jalannya sempit berkelok-kelok dan menanjak tapi tak sulit mencarinya karena penduduk yang ditanyai dengan mudah pula menunjukkan letaknya. Akhirnya kami sampai di sebuah rumah dengan mushola Al Mubharrokah di depannya. Untuk pertama kali itu saya bertemu Mas Ary, Odi, serta James. Mereka kenalan dari milis IBP yang sudah berpengalaman mendaki di TNGGP dan bersedia membawa kami untuk bersama-sama mendaki. Saat itu juga Odi memperkenalkan kami kepada Abah Idris, sesepuh yang juga bisa dibilang kuncen daerah itu.
“Untuk melakukan pendakian, usahakan tidak membawa barang yang tidak penting. Kalau harus bawa pun sesedikit mungkin. Perbanyak bekal makanan saja,” saran Mas Ary yang kalem itu sambil agak mesem-mesem saat melihat sleeping bag ‘jumbo’ yang kami bawa.
Benar juga, ya. Persiapan saya dan Kang Iwan ini salah, membawa baju banyak dengan alasan buat ganti kalau hujan, padahal sebagaimana dikatakan Mas Ary, “Antisipasi hujan cukup siapkan jas hujan yang baik saja, gak perlu bawa baju banyak.”
Jalanan selanjutnya yang dilalui tanah dengan tanjakkan bertangga dengan sebatang bambu yang dipasang di setiap ujung tangga tanah itu sebagai penahannya. Meski udara mulai sejuk karena matahari sudah tidak menampakkan sinarnya, namun saya mulai merasa panas. Saya sering merasakan kelelahan, sakit paha serta dada saat pernafasan sudah tidak teratur.
Setelah cukup istirahat (bahkan menurut salah seorang teman satu tim mengatakan kalau kita istirahat kelamaan) perjalanan dilanjutkan. Lampu senter dengan berbagai model dan ukuran mengeluarkan cahaya dengan indahnya. Cahaya saling berkelebat diantara besar dan rapatnya diameter pepohonan . Kami berjalan merapat dan mempersilahkan pendaki lain berjalan terlebih dahulu saat jalan yang dilalui semakin terjal.
“Kita satu tim, kita keluarga. Saat mendaki, keselamatan dan keamanan setiap pendaki adalah tanggung jawab pendaki lainnya juga. Saat mendaki kita diajarkan untuk tidak egois, terhadap teman satu tim, terhadap sesama pendaki juga terhadap alam.” Ujar Tebo memasang wajah serius sambil membetulkan letak kaca matanya. Sinar bulan yang saat itu menerobos lewat daun pepohonan samar-samar menerangi kami yang pada saat beristirahat mematikan senter.
Iseng sambil terus merayap dalam gelap, setiap ada pendaki yang menyusul kami atau berpapasan hendak turun kami selalu bertanya, “Mas, ini ke Surken masih jauh ya?”
Jawaban mereka (entah sudah menjadi tradisi atau hanya kebetulan) selalu sama, “Dekat kok! Sebentar lagi! Surya Kencana paling 25 menit lagi sampai…”
“Gile, setiap kali nanya jawabannya deket-deket dan sebentar-sebentar lagi terus, tapi ini dari tadi jalan kita kok gak sampai-sampai yah?” Ujar Revo sambil bersungut-sungut. Lalu ia terduduk mengajak istirahat.
Kami yang mendengar kontan tertawa-tawa. Memang iya sih, setiap kita nanya jawaban mereka selalu senada.
“Mungkin mereka itu cuma nyenengin ati lo aja, Vo…” timpal Mas Ary sambil tertawa juga.
“Gue capek, ah! Udah kita bikin tenda di sini aja!” Idih, Revo ngambek rupanya.
“Nih, gue kasih sosis biar semanget lagi,” canda seorang teman lainnya menggoda Revo. Yang saya lihat dan perhatikan sih, sejak dari bawah tadi, Revo memang ngemil terus.
“Nah, gitu dong! Yok kita jalan lagi..” Revo menyambar sosis lalu dengan semangat dadakan tubuhnya yang gemuk berdiri mengajak jalan lagi. Hahaha, ada-ada saja ulahnya. Membuat semua tertawa disaat gelap dan kelelahan.
Pukul Sepuluh lewat, saat perbekalan air habis, kami yang terengah-engah terus merayap dalam gelap tiba-tiba mendengar suara teriakan dari atas. “Ayo semangat, kalian sudah sampai di Alun-alun Surya Kencana…!”
Rupanya itu suara salah seorang panitia pendaki kelompok LARVA yang selalu menyemangati para anggotanya. Tapi kali itu benar, lho! Setelah habis tanjakan yang penuh akar dan tanahnya agak berpasir, kami mulai berjalan dengan posisi tanah melandai.
Bukan pepohonan yang menjulang tinggi lagi yang kami lewati melainkan perdu serta tanaman yang pada malam hari lebih menyerupai seperti semak-semak. Suara-suara para pendaki mulai terdengar semakin ramai. Benar, akhirnya kami sampai di dataran luas Surya Kencana di sisi baratnya. Saya dengar dari pintu Gunung Putri rata-rata waktu perjalanan normal sampai ke Surya Kencana berkisar selama lima jam. Jika dari pintu Cibodas, jarak 11,8 km itu bisa ditempuh selama 6 jam perjalanan.
Sinar bulan menerangi hamparan dataran yang sangat luas berada di ketinggian 2.750 mdpl malam itu. Banyak para pendaki yang sudah mendirikan tenda di lokasi yang kami lewati. Suhu udara terasa jauh lebih dingin. Saya pun inginnya segera tidur dan melepas lelah. Tapi Tebo bilang tim kami tidak akan membuat tenda di daerah itu, “Kita akan mendirikan tenda di tengah sana, supaya besok tinggal manjat ke puncak Gedenya. Odong sudah di sana nunggu kita.”
Setelah menunggu semuanya sampai di lokasi pintu barat Alun-alun Surya Kencana, kami sebelas orang kembali beriringan berjalan di atas jalan setapak di tengah hamparan padang nan luas. Sebelah kiri dan kanan kami tampak menjulang hitam dinding kokoh.
“Di sebelah itu puncak Gede berada,” tunjuk Tebo ke dinding sebelah kanan. Kami terus menyimak informasi dari Tebo sambil terus berjalan membelah dataran seluas 50 hektar yang ditutupi hamparan bunga edelweiss.
Sambil berjalan, saya terus menggerak-gerakkan tangan yang rasanya mulai membeku meski sudah mengenakan sarung tangan. Bulan semakin lama semakin memperjelas pandangan, menyibakkan kabut yang menutupi. Sampai akhirnya pohon edelweiss terlihat di sepanjang jalan setapak yang kami lewati. Suara gemericik air sayup-sayup juga terdengar terbawa angin.
“Jika ada angin kencang, tenda kita dipastikan akan tetap aman,” jelas Odi saat diantara kami ada yang bertanya kenapa mendirikan tenda di sekitar pepohonan itu. bukan di dekat air di bawah sana.
Tanpa banyak bicara, kami pun mendirikan tenda. Udara dingin yang kata Odi malam itu mencapai suhu 4 derajat Celcius membuat kami enggan bicara banyak. Pengennya cepat selesai mendirikan tenda dan segera tidur!
“Nasi uduk! Nasi Uduknya…”
Kami mendengar suara laki-laki menjajakan nasi uduk dari arah tenda seberang.
“Cape sih, Neng. Tapi ya gimana lagi, namanya juga usaha,” katanya seraya terduduk melepas ransel saat saya tanya bolak-balik dari kampung ke Alun-alun Surken setiap hari apa gak kecapean?
Saat membuka tas ranselnya yang berisi nasi uduk, saya todong Si Emang dengan pertanyaan tentang sasakala yang ia ketahui tentang Gunung Gede. Luar biasa, Si Emang ternyata hafal di luar kepala! Katanya sesuai dengan cerita dari karuhun (nenek moyang) di Gunung Gede itu ada dua sesepuh yang sangat dikeramatkan oleh warga yaitu Eyang Suryakencana dan Prabu Siliwangi. Rakyat mempercayai kalau kedua roh sesepuh tersebut selalu menjaga alam serta warga sekitar dari segala mara bahaya.
“Menurut karuhun mah Neng, setelah meletus tahun 1957, Gunung ini teh tidak akan meletus lagi karena dijaga oleh dua karuhun itu,” ucap Si Emang meyakinkan.
Bahkan entah hanya selorohan Si Emang atau memang benar demikian adanya, dikatakannya pula Gunung Gede ini adalah tempat tinggalnya Eyang Sinto Gendeng guru Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng. Di gua-gua yang terdapat di seberang selokan itu banyak dikunjungi orang untuk mencari berkah dan selamat.
Saat kami masuk ke semak-semak pohon Edelweiss, ya ampun! ternyata di bawah pohon itu berserakan sampah-sampah plastik! Ck! Ck! Ck!, kok bisa ya para pendaki meninggalkan sampah yang mereka bawa di tempat ini? Bukankah di pos pendaftaran/keberangkatan dan kepulangan sampah-sampah hasil perbekalan itu telah dicatat, lalu harus dikumpulkan dan dibawa turun?
Selanjutnya, kami menyebrang selokan sumber air menuju ‘perkampungan’ para pendaki. Jika saat kami turun tadi suasana masih sunyi, kali ini keramaian sudah semakin terdengar. Bunyi nesting yang beradu, suara tawa para pendaki, harumnya bumbu dari mie instant serta wangi kopi/coklat semakin menyemarakkan pagi di tempat perkemahan para pendaki itu.
Kami mencari gua yang diceritakan oleh tukang nasi uduk. Sampai di lokasi gua yang dimaksud namun ga bisa masuk karena sudah ‘tertutup’ oleh dua buah tenda yang tepat berdiri di mulut gua. Mungkin mereka sengaja membuat tenda di mulut gua tersebut, jika angin kencang, di dalam gua pasti akan terasa lebih hangat.
Sempat merasa tidak percaya saat di ‘perkampungan’ tenda ada beberapa anak kecil yang sedang bermain. Saat saya tanya, mereka berumur lima tahun, tujuh tahun dan sembilan tahun itu memang ikut mendaki bersama ayah, ibu dan keluarganya. Luar biasa, mereka sedari kecil sudah ikut mendaki gunung.
“Ayo, ah kita naik. Semakin pagi naik ke puncak semakin bagus,” kata Odi. “Soalnya kalau sore, pemandangan tak jelas karena tertutup kabut.”
Ya, pagi-pagi saja kabut sangat tebal, apalagi sore? Pantas saja kalau dilihat dari jauh, dari kendaraan saat mau ke Jakarta atau Bandung misalnya, Gunung Gede selalu tertutup kabut, jarang sekali tampak keseluruhan hingga ke puncaknya walau pun matahari tengah bersinar cerah. Sebelum naik menuju puncak, kami kembali berfoto bersama.
Menuju puncak, jalan yang kami lalui ibarat kali yang kering. Batu-batu yang menjadi pijakan kami, bukan tanah. Sepanjang pendakian pohon cantigi yang kerap dan berjejer rapat satu-satunya yang menjadi pelindung kami saat angin bertiup kencang. Saking kerasnya tiupan angin sampai suara bising bagai ribuan tawon yang menggulung di atas kepala kami. Tak terbayangkan bagaimana jadinya jika tidak ada pepohonan pelindung itu.
Iseng teringat semalam, saya bertanya kepada para pendaki yang turun dan berlawanan arah apakah ke puncak masih jauh? Jawab mereka kali ini pun hampir sama. “Sudah dekat, Mbak! Lima menit lagi juga sampai…” Saya dan kang Iwan tersenyum. Lima menit penyemangat, hehehe! Benar saja kami memakan waktu satu jam lebih untuk sampai di puncak dari estimate waktu lima menit yang mereka katakan. Tak sampai dua jam, akhirnya kami sampai di puncak Gunung Gede.
Subhanalloh…
Tak tahu harus bagaimana saya melukiskan semua perasaan saat saya pada akhirnya berhasil menginjakkan kaki di Puncak Stratovolcano Gunung Gede yang ditetapkan oleh UNESCO sebagai Cagar Biosfir sejak tahun 1977 dengan segala pemandangannya yang sangat sangat sangat indah. Luar biasa. Allah Maha Besar…
Kang Iwan sampai melakukan sujud syukur sekian lama, mungkin hatinya mengucapkan syukur yang tiada terhingga, alhamdulillah akhirnya cita-cita untuk menginjakkan kaki di atas ketinggian 2.958 mdpl tercapai.
Panorama berupa pemandangan terdiri dari Gunung pangrango, Gunung Salak, hamparan kota Cianjur - Sukabumi - Bogor terlihat dengan jelas. Sungguh sebuah atraksi geologi yang menarik dan pertunjukan tumbuhan khas sekitar kawah yang sangat cantik.
Akhirnya kami berhasil mendaki melalui zona submontana, montana, hingga ke zona subalpin di sekitar puncak. Bangga sebagai warga sekitar TNGGP yang mana hutan pegunungan di kawasannya merupakan salah satu yang paling kaya jenis floranya di Indonesia.
Saya dan teman-teman berkeliling dari ujung sebelah kiri terus sampai di ujung sebelah kanan demi bisa melihat keseluruhan kawah yang masih aktif dalam satu kompleks. Sayang, saat saya bertanya yang mana kawah Lanang, yang mana kawah Ratu dan yang mana kawah Wadon tak ada seorang pun yang bisa menjelaskan. Yang saya lihat dan saksikan di bawah sana hanya ada sekepul asap yang bersumber dari pinggir cairan yang berwarna biru. Hanya bau belerang memang terasa sangat kuat.
Saat berkeliling mengitari batu karang sepanjang lereng kawah itu banyak para pendaki yang mendirikan tenda di puncak itu. Diantara semak-semak cantigi mereka beristirahat sambil memandang hamparan luas sejauh mata memandang.
Berbagai macam pose orang berfoto di puncak itu kami temui. Berbagai macam cara para pemegang kamera beraksi demi bisa mengambil gambar yang dikehendakinya juga kami temui. Bahkan kami bertemu para pendaki dengan carrier yang super panjang mereka sepertinya khusus melakukan pemotretan dengan latar puncak Pangrango. Komplit, selain kamera yang dipegang fotographernya, ada tiga orang pendaki lain yang bertugas memegang blitz dari berbagai arah. Luar biasa…
Sepanjang jalan-jalan di tebing kawah itu saya harus sangat berhati-hati karena selain tanahnya terdiri dari pasir dan kerikil yang licin, pagar atau tali besi pengaman juga sudah pada rusak, rubuh, sehingga tidak ada batas untuk para pendaki melewati bibir kawah yang sangat curam dan berbahaya itu.
Setelah cukup puas menghirup udara puncak dan menatap kawah, kami kembali berfoto bersama sebelum akhirnya berjalan menuruni puncak menuju pintu Cibodas.
Odi alias Odong dan Tebo menyarankan kami untuk segera bergerak menuruni puncak menuju ke sisi kiri. “Lokasi di Kandang Badak kecil, kita bisa kehabisan tempat untuk mendirikan tenda di sana,” jelas Tebo saat saya tanya kenapa harus segera turun.
Tak hanya tim kami saja, banyak pendaki lain yang terlihat terburu-buru turun juga. Bahkan tim keluarga yang membawa anak kecil mendaki itu pun mereka hampir bersamaan turun bersama kami menuju Kandang Badak. Sambil jalan, penasaran sangat kuat saya alami. Ingin segera tahu, Kandang Badak itu lokasinya seperti apa sih?
Perjalanan turun kali ini menurut saya tidak melelahkan seperti saat kami naik kemarin. Walau ada lelah rasanya saya tidak ingin berhenti untuk beristirahat. Jalan yang menurun, diantara pohon cantigi dengan teksture alam yang sangat indah semakin membuat saya penasaran untuk segera mengabadikan semuanya lewat kamera alam pemberian Sang Pencipta sebelum gelap keburu menyergap.
Mata saya tak sedikitpun ingin berpaling dari pemandangan alam yang sangat susah saya temui kalau tidak sedang naik atau turun gunung. Pucuk cantigi yang merah, batang-batangnya berjejer rapat menjadi penguat serta pegangan saat pendaki turun. Banyak dahan yang saking seringnya dipakai sebagai pegangan oleh para pendaki, sudah licin, lembut dan leucir (seperti diampelas saking seringnya dipegang). Beberapa buah cantigi yang matang saat saya cicipi terasa manis. Serta tonjolan batu dan karang yang terbentuk karena kejadian alam sedikitpun tak ingin saya berpaling memperhatikannya.
“Kita mau lewat Tanjakan Setan atau enggak?” tanya Odi. “Kalau enggak, bisa ambil jalur kiri, cuma bakal agak panjang karena sedikit memutar.”
Hah? Tanjakan Setan? Bukannya takut mendengar nama tempat itu, yang ada saya justru penasaran dan segera ingin melihat seperti apa tempat yang dinamakan Tanjakan Setan itu.
“Lewat Tanjakan Setan saja. Masa mendaki Gede gak lewat Tanjakan Setan nanti malah makin penasaran, lagi…” ucap saya mantap.
“Okelah, ayo lewat Tanjakan Setan aja. Gue juga pengen tahu, kok!” balas Revo.
Sepakat, kami menuju arah Tanjakan Setan. Batu-batu serta karang yang kami lewati habis di bibir jurang yang didominasi pohon-pohon yang menjadi pagangan.
Oh, ternyata ini yang dinamakan Tanjakan Setan? Batin saya saat sampai di sebuah tanjakan yang sangat curam dengan beberapa tambang sebagai alat pegangan para pendaki. Untuk menuruni tanjakan ini, pendaki turun satu persatu dan ransel yang berat serta besar sebaiknya dioper kepada teman-teman supaya tidak mengganggu.
Kami tiba di lokasi Kandang Badak saat pukul tujuh malam. Suara air yang menggelegar menandakan perkemahan sudah dekat. Benar saja, tenda-tenda mulai terlihat diantara rapatnya akar-akar pohon yang menjulang tinggi.
Saya dengar pembicaraan teman-teman kalau lokasi untuk mendirikan tenda hanya cukup untuk dua buah tenda saja. Tentu saja hal itu tidak mengenakkan kami. Sempat juga terdengar ide untuk melanjutkan perjalanan dan mendirikan tenda di Kandang Batu. Tapi setelah Tebo berbicara dengan beberapa orang pendaki yang sudah terlebih dahulu mendirikan tenda di sekitar situ kami bisa mendirikan tiga tenda walau sangat berdempet-dempetan. Untuk sholat saja kami harus mencari tempat agak jauh dari lokasi tenda.
Saat membersihkan diri, di sisi sumber air yang sangat besar itu berdiri sebuah bangunan yang gelap dan cukup menakutkan seperti bangunan tua atau rumah hantu gitu. Hanya bercahayakan senter yang sudah mulai habis batreinya saya tak bisa melihat jelas bangunan apa itu.
Saya mengajak ngobrol Si Emang pedagang nasi uduk yang berasal dari perkampungan sekitar Cibodas itu. Bertanya asal usul mengapa daerah itu dinamakan Kandang Badak, benarkah dulunya bangunan ini kandang tempat badak?
“Dulu, memang ada badak dan bangunan ini dibangun oleh para ranger,” jelas Si Emang. Belum selesai Si Emang bercerita, tiba-tiba ada pendaki yang memanggil-manggil Si Emang. Bukan mau membeli nasi uduknya, melainkan mau meminta tolong untuk menggotong tandu!
Selama perjalanan menurun itu kami ibarat berjalan melewati sungai berbatu karena jalan yang dipijak penuh dengan air. Tak jarang kami harus menaiki pohon yang tumbang menghalangi jalan, membungkuk atau merangkak karena pohon itu tidak bisa dilewati.
Dalam perjalanan, kami melewati Curug Leutik (Air Terjun kecil, begitu keterangan yang saya dapat dari Odi) kami sempat berfoto dan main air di lokasi itu. Mendekati lokasi Kandang Batu, hujan reda menyisakan becek dan kabut.
Tak berapa lama kami mendekati lokasi Air Panas. Banyak para pendaki yang mandi di air hangat itu. Saat berjalan melewati lokasi Air Panas hujan kembali datang dengan lebatnya. Kami harus ekstra hati-hati berpegangan pada seutas tambang di sisi kiri jalan. Sementara di sisi kanan adalah air terjun air panas yang airnya benar-benar panas. Sampai kabut hawa panas itu menutupi pandangan kami.
Kekayaan alam Indonesia yang sangat luar biasa, air panas dan air dingin berdampingan mengalir. Bodoh banget kalau kita sebagai warga negara Indonesia menyia-nyiakan harta kekayaan alam yang tak ternilai harganya itu. Banyak turis yang masih muda dan mereka perempuan melakukan perjalanan dari Cibodas ke Air Panas itu dengan berjalan kaki cukup cepat. Mereka sangat antusias dan senang, seperti tak merasakan kelelahan. Tidakkah kita sebagai generasi muda bangsa lebih bersenang diri?
Puas berada di lokasi Air Panas dan hujan semakin deras, kami melanjutkan perjalanan lagi. Orang-orang semakin banyak kami temui, bukan hanya para pendaki gunung, melainkan juga mereka yang datang ke lokasi Air Panas Cibodas, Panyangcangan, dan sekitarnya. Kembali dalam hujan kami harus berhati-hati karena banyak pohon yang tumbang, menghalangi jalan bahkan ada yang tidak bisa kami lewati dan kami harus memutar. Pohon-pohon anggrek hutan banyak berserakan di sepanjang jalan.
Hingga akhirnya kami sampai di lokasi pertigaan Air Terjun Cibeureum. Banyak sekali orang di situ, bercampur antara para pendaki, pengunjung Air Panas, Panyangcangan, pengunjung Air Terjun Cibeureum dan lokasi wisata sekitar lainnya.
Tim kami beristirahat di pos itu. Saya dan Kang Iwan menyempatkan diri ke lokasi Air Terjun Cibeureum yang berjarak hanya 300 meter dari pos tempat kami istirahat. Air terjun dengan ketinggian 50 meter itu seperti mengepul terlihat dari kejauhan.
Awalnya Kang Iwan tidak akan berbasah-basahan di Air Terjun Cibeureum itu, tapi saat berfoto, tak kami sangka air itu tertiup angin dan membasahi kami. Kepalang basah, Kang Iwan mencebur langsung sekalian di bawah air terjun yang banyak dikunjungi oleh pasangan dua insan itu dan pulang menuju pos dengan keadaan basah kuyup.
Dalam perjalanan turun menuju Pintu Cibodas, kami melewati beberapa lokasi wisata lainnya yang tak kalah menarik yaitu Telaga Biru, danau dengan luas sekitar lima hektar ini selalu terlihat berwarna biru dikarenakan ganggang biru yang menutupinya.
Lokasi Penangkaran Burung; yang mana TNGGP terkenal akan berbagai jenis burung. Sekitar 251 jenis dari 450 jenis yang terdapat di Pulau Jawa ada di TNGGP ini. Beberapa jenis di antaranya merupakan burung langka yaitu Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) dan Celepuk Jawa (Otus angelinae).
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango [National Park]
Jl. Raya Cibodas, Cipanas, Cianjur, Jawa Barat, Indonesia 43253
Tel/Fax: +62-263-512776 [office] | Tel/Fax: +62-263-519415 [booking]
Email: info@gedepangrango.org [office] | booking@gedepangrango.org
sumber : http://wisata.kompasiana.com